Monday, August 11, 2008

Melepas untuk tetap mengikat


Mungkin terdengar sedikit kontradiktif. Tapi memang itulah yang 'terpaksa' saya lakukan demi keselamatan hidup anak-anakku. Keselamatan dari ancaman pergaulan yang tak terkendali, pengaruh televisi, pengaruh tingkah polah orang di jalan. Kenapa hal-hal itu jadi ancaman.
Memang hidup ini adalah pilihan. Semuanya sangat tergantung pada pilihan kita. Tidak ada kata tidak ada pilihan. Yang ada adalah konsekuensi terhadap setiap pilihan.

Putri sulung saya memasuki sekolah menengah atas. Ia memilih untuk bersekolah sambil 'nyantri'. Sebagai orangtua saya memberinya alternatif pada beberapa pondok pesantren yang saya tahu cukup baik dan biayanya terjangkau. Yaitu di Gading mangu Jombang, Teluk Jambe Karawang, dan di Serbajadi Lampung. Dan konsekuensi yang saya hadapi sama, yaitu melepas Tami (namanya) tinggal di asrama dan tidak berada dirumah hingga liburan sekolah tiba.

Melepas anak sulung saya ini berarti juga berkurang satu tenaga yang mengurus rumah, mengajak main si kecil, membantu memasak dan membantu mengoreksi tugas dan pr murid istri saya. Tapi itu juga memberi lingkungan baru yang lebih ketat bagi Tami, kawan-kawan yang terbatas, tidak nonton TV (kecuali TVE disekolah), tidak telpon sana/i dgn hp dll. Tapi itu juga memberi dia waktu untuk mengaji 2x 1,5 jam sehari, belajar 5 jam, mencuci pakaian sendiri, tidak pacaran, tidak melihat tontonan orang pacaran di tv dan di jalan dan tidak melihat pertengkaran dendam yang sering dimunculkan di sinetron.

Apakah hal-hal terakhir itu bisa ia dapatkan dirumah? Jawabnya : bisa , tapi sulit. Terutama soal tontonan TV, apakah mungkin saya menyingkirkan TV dari rumah? Apakah mungkin membuat dia mengaji 2x sehari?

Jadi itu adalah konsekuensi. dan pilihan yang diambil adalah Tami mondok di Ponpes Margakaya, Teluk Jambe sambil bersekolah di SMU Budi Mulia Karawang.

Selamat menempuh ujian hidup , nak.