Friday, June 13, 2008

Gagal kah saya?

Diantara hingar bingar siaran sepakbola EURO 2008, tadi malam saya merenungi keadaan yang harus saya hadapi. Persoalan kuliah yang tidak terselesaikan, dan melaporkan kegagalan studi ini ke kantor pemberi beasiswa.
Ada perasaan bahwa masih ada waktu sehari-dua hari untuk mengerjakan tugas, tetapi ketika memikirkan detail tugas yang harus dikerjakan, kemungkinan itu jadi sirna. Beberapa ungkapan berseliweran beberapa hari ini, mulai dari:
" Keuletan adalah ketika tangan masih mengerjakan sementara pikiran mengatakan sudah tidak mungkin dilakukan"
Tetapi badan dan pikiran ini sepertinya sudah kehabisan energi. Tak mampu menahan beban untuk memaksakan melakukan, bukan tidak ingin melakukan. Kerugian memang telah terpampang: rugi waktu tiga tahun, rugi biaya (-karena walaupun ada beasiswa, tetapi jauh dari cukup, sehingga sebagian gaji untuk hiduppun tersalur untuk kuliah--).
Saat saya mengerjakan pekerjaan lain diluar tugas kuliah, justru saya merasa bersemangat, tidak ada beban, bahkan lebih mempersungguh. Seakan semua ide, keinginan, dan prospek berjalan bersamaan.
Disatu sisi, kegagalan kuliah, pada dasarnya bagi saya adalah kegagalan mendapat ijazah, bukan kegagalan mendapatkan ilmu. Tapi apakah ilmu yang saya dapatkan akan berharga dimata atasan dan teman-teman sekerja?
Kegagalan mendapat ijazah, adalah kejatuhan gengsi, harga diri sebagai intelektual. Kehilangan kesempatan membanggakan orangtua, istri, dan anak-anak ku.
Tapi apakah memang itu yang mereka rasakan?
Istri saya berbicara: tidak S2 toh tidak menjadikan kita tidak makan.
Bapak dan Ibu saya pun tidak pernah mengeluhkan sebagian uangnya yang terpakai oleh saya. Anak-anakpun tak pernah tahu persis apa yang saya kerjakan.
Lalu apa yang saya gundahkan?
Mungkinkah masa depan saya hilang bila tahun ini tidak mendapat Master of Science?
Apakah Dunia akan lebih baik bila saya berhasil menyelesaikan S2?
Mengapa pula saya harus stress berkepanjangan, bahkan untuk kembali ke kantor saja saya enggan, sepertinya kaki saya diberati rantai terikat pada besi berton-ton.
Satu hal yang saya simpulkan, saya butuh bantuan. Bukan bantuan teknis, bukan bantuan keuangan, tetapi bantuan manajemen.
Manajemen kehidupan, manajemen prilaku, manajemen strategi, dan manajemen kejiwaan. Dan ini semua tidak tersedia dalam ASKES. Saya pikir justru ini yang perlu diberikan kepada para pegawai agar semangat mereka terjaga dan mengurangi beban mental dalam menghadapi masalah.
Lalu kemanakah saya harus bersandar berkonsultasi?

ANY SUGGEST FROM YOU?